Perayaan IMLEK di Indonesia

Pada awalnya Imlek adalah perayaan yang dilakukan oleh para petani di Tiongkok untuk menyambut musim semi. Perayaan ini jatuh pada awal tahun baru, yaitu tanggal satu bulan pertama penanggalan Cina yang dihitung berdasarkan peredaran bulan mengelilingi bumi (lunar calendar). Jadi dilihat dari sejarahnya Imlek bukanlah perayaan keagamaan, melainkan upacara tradisional rakyat. Orang-orang keturunan Tionghoa yang beragama apapun merayakan tahun baru ini, sehingga dapat dikatakan bahwa Imlek menyatukan orang-orang keturunan Tionghoa di berbagai belahan bumi. Namun tak dapat disangkal bahwa di tiap-tiap tempat perayaan Imlek telah berbaur dengan budaya setempat. Misalnya, akulturasi etnis Tionghoa dengan budaya Jawa tampak pada perayaan Imlek di salah satu kelenteng di jalan Poncowinatan, Yogyakarta. Di Kelenteng Tjen Ling Kiong ini makanan yang disajikan seusai sembahyang bersama adalah makanan khas Jawa, berupa tumpeng, nasi kuning dengan lauk pauknya. Selain itu sebagian warga mengenakan pakaian batik, yang merupakan budaya khas Jawa, saat menghadiri perayaan tersebut (kompas, 6 Februari 2008).

Pada umumnya orang-orang keturunan Tionghoa di Indonesia saat ini sudah tidak terlalu paham lagi seluk-beluk budaya atau tradisi leluhur mereka sendiri. Mereka sudah menjadi warga negara Indonesia, sudah berbaur dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, bahkan tidak sedikit yang menikah dengan suku lain. Kendati demikian ada orang-orang tertentu yang sampai sekarang ini masih ketat memegang tradisi leluhur mereka (disebut Cina totok). Antara tahun 19651998, perayaan tahun baru Imlek dilarang dirayakan di depan umum. Dengan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967, rezim Orde Baru di bawah pimpinan Presiden Soeharto, melarang segala hal yang berbau Tionghoa, di antaranya Imlek. Masyarakat keturunan Tionghoa di Indonesia mendapatkan kembali kebebasan merayakan tahun baru Imlek pada tahun 2000 dengan dicabutnya Inpres tersebut oleh Presiden Abdurrahman Wahid. Kemudian pada tanggal 9 April 2002 Presiden Megawati Soekarnoputri mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 19/2002 yang meresmikan Imlek sebagai hari libur nasional.

Bagi orang-orang Cina totok, satu hari menjelang Tahun Baru Imlek diadakan sembahyang dalam keluarga. Adapun tujuan diadakannya sembayang adalah untuk mengucap syukur ke hadirat Thian, Tuhan Yang Maha Esa, yang telah melimpahkan curahan berkat dan rahmat-Nya sepanjang tahun yang telah berlalu hingga dapat memasuki tahun yang baru, serta mohon berkat dan rahmatNya kembali untuk tahun yang akan dijalani. Selain itu sembahyang juga dilakukan untuk menghormati dan mendoakan para leluhur sebagai perwujudan bakti dan rasa terima kasih atas asuhannya. Hidangan yang disuguhkan di meja sembahyang masing-masing terdiri dari 12 jenis: 12 sayur, 12 lauk, 12 buah, dan 12 kue. Angka 12 mewakili/melambangkan shio yang berjumlah 12. Kedua belas hidangan tersebut disusun di meja sembahyang, pemilik rumah lalu berdoa memanggil para leluhurnya untuk menyantap hidangan yang disuguhkan. Pada malam tahun baru ini juga keluarga bersantap malam bersama. Setelah selesai makan malam pintu rumah dibuka lebar-lebar agar rezeki dapat masuk ke rumah dengan leluasa.

Pada hari “H” rumah sudah dibersihkan, orang menghias diri dengan pakaian baru, dan menyediakan makanan yang lebih enak daripada biasanya, namun bukan dengan niat berfoya-foya, melainkan sebagai ungkapan syukur dan kegembiraan. Ucapan selamat tahun baru pertama-tama dilakukan dalam keluarga. Anak-anak mengucapkan selamat tahun baru dengan melakukan sujud di hadapan orang tua. Istilah yang kerap kita dengar “GONG XI FA CAI” mengungkapkan harapan agar bertambah kemakmuran dan kesejahteraan di tahun yang baru. Setelah dalam keluarga inti, ucapan selamat dilanjutkan pada sanak saudara dan sahabat dengan melakukan kunjungan ke rumah orang yang lebih tua atau yang dituakan. Cara memberi hormat yang lazim dalam budaya Tionghoa disebut soja, kedua tangan dirangkap, diangkat naik sampai setinggi dada, dan digerak-gerakkan naik-turun. Dengan demikian Imlek menjadi saat berkumpul bersama dengan sanak saudara yang mungkin tidak mempunyai kesempatan bertemu selama satu tahun. Orang yang lebih tua atau yang dituakan membagikan angpao pada yang lebih muda. Jika kakak belum menikah tetapi adik sudah menikah, maka dalam hal ini adik dianggap lebih tua daripada kakak, sehingga adik sudah mempunyai kewajiban memberi angpao, sedangkan kakak masih menerima angpao. Angpao adalah bingkisan dalam amplop merah yang biasanya berisikan sejumlah uang sebagai hadiah menyambut tahun baru Imlek. Maksud membagikan angpao adalah membagikan berkat, rejeki, dan kebahagiaan. Namun angpao sebenarnya bukan monopoli perayaan tahun baru Imlek. Angpao melambangkan kegembiraan dan semangat yang akan membawa nasib baik, sehingga angpao juga diberikan pada beberapa moment penting seperti pernikahan, ulang tahun, masuk rumah baru dan lain-lain yang bersifat suka cita.

Perayaan tahun baru Imlek juga disemarakkan dengan hiasan lampion dan dekorasi lainnya, serta peralatan (lilin, hio) dan pakaian yang dikenakan pada umumnya didominasi dengan warna merah yang melambangkan suasana pesta dan kegembiraan. Aksi barongsai (tarian singa) dan liong (naga) yang dimainkan oleh para remaja dengan iringan musik yang khas juga merupakan ciri tahun baru Imlek. Menurut kepercayaan orang Tionghoa, singa merupakan lambang kebahagiaan dan kesenangan. Oleh karena itu Tarian Singa dipercaya sebagai pertunjukan yang dapat membawa keberuntungan. Orang-orang yang menonton pertunjukkan memberikan angpao pada para pemain melalui mulut singa yang terbuka-tertutup untuk menjepit angpao tersebut. Ciri lain yang wajib ada pada tahun baru Imlek adalah kue keranjang. Kue ini rasanya manis yang melambangkan harapan kehidupan yang lebih manis di tahun baru.

Satu hari setelah tahun baru, keluarga datang ke makam untuk melakukan ziarah pada anggota keluarga yang sudah meninggal. Kemudian pada hari kelima, diadakan suatu upacara sembahyang yang disebut sembahyang Toapekong Turun. Sembahyang ini umumnya dilakukan di Kelenteng atau Wihara Tridharma, atau ada juga yang melakukannya di rumah masing-masing sekitar jam 23.00 s/d. 24.00, saat tengah malam menjelang tiba tanggal 5 bulan 1 Imlek. Menurut kepercayaan pada hari kelima ini para dewa turun dari langit membawa banyak “oleh-oleh berkah” untuk dibagikan pada manusia di bumi. Puncak perayaan jatuh pada hari kesembilan. Pada hari ini diadakan upacara besar, yaitu sembahyang Kepada Tuhan Yang Maha Besar. Sembahyang ini dianggap sebagai lambang dari kesempurnaan, yang diwakili oleh angka 9, yang merupakan angka tertinggi. Hio yang dipakai dalam upacara berjumlah 9 batang. Perayaan Imlek ditutup pada hari ke-15, yaitu peringatan Cap Go Me. Di rumah-rumah dilakukan sembahyang kepada para leluhur dengan Upacara Kue Keranjang (yang di goreng). Dengan demikian berakhirlah seluruh rangkaian perayaan Tahun Baru Imlek.

 

Oleh: Lucia Shinta S (Guru SMA Trinitas Bandung)

 

Leave a Comment